1/09/2016

Marah dan Pelampiasan Fisik

Ada banyak cara untuk mengungkapkan kemarahan. Masing-masing orang punya cara tersendiri untuk melampiaskannya. Untung bagi mereka yang punya pasangan, ada yang dapat membantu meredakan kemarahan lewat kegiatan fisik yang dilakukan bersama-sama. Bagaimana dengan seorang janda, dengan cara apa rasa marah dikelola dan dilampiaskan?

Marah dan Pelampiasan Fisik

Ceritanya waktu saya sedang di gym. Kenalan sama seorang anggota yang modelnya sama dengan saya: latihan keras, sedikit ngobrol dan pulang. Umurnya mungkin belum 30 tahun, badan bagian atasnya sudah ‘jadi’.

Saya sudah mulai stretching cooling down ketika dia memulai gerakan variasi sit-up yang agak lain daripada yang lain. Mulailah dengan berdiskusi gerakan tadi, coba mencoba gerakan dan kena di mana, lalu bicara soal cabang dari gym kita yang tersebar di hampir seluruh pelosok Jabodetabek.

“Yang di mall ini musiknya kurang enak. Maklumlah, yang datang mungkin banyak ABG. Kalau di sini lebih enak buat latihan”

“Emang yang di sana kenapa, Mbak? Memang sih, seperti diskotik, gelap gitu dari luar…”

“Mungkin suasananya ya, dan musiknya satu waktu buat saya marah, bukannya energized malah jadi kesal”.

“Lho, Mbak, kan kalau marah bagus lho, jadi lebih banyak energi”.

Memang dia benar. Coba saja perhatikan orang-orang yang menggunakan anabolic steroid. They are short tempered. Tenaga dan energi bertambah karena metabolismenya jadi lebih cepat, tetapi jadi pemarah. Pernah ada yang dikeluarkan dari keanggotaan gym karena dia mukul salah satu yang bebersih di gym.

Pendek kata, kalau di kalangan weight lifters, mereka lebih semangat dan berenergi kalau emosi sedang di atas dan lagi marah, dan marahnya dituangkan dengan mengangkat weight yang berat. Belum lagi kalau dipanas-panasin temen-temannya ngangkat yang lebih berat. Wah!

Naaaah, masalahnya dengan saya yang depressive ini, kalau marah, nangis. Bukannya berteriak-teriak seperti orang-orang di gym yang ngangkat beban berat, tapi malah kesal dan nangis. Beberapa kali kejadian seperti itu.

Karena itu, saya lebih suka gym saya di Kemang karena musiknya bikin happy (bukan yang ajeb-ajeb) dan tempatnya banyak cahaya dan kaca.

Saya juga pernah lagi down, kemudian pergi ke gym bersama kawan/partner latihan saya. Waktu itu lagi kesal dengan kantor, terhadap seseorang. Lalu saya bayangkan mukanya dia pas angkat beban. Memang rasa marah dan kesal itu keluar dan lega benar rasanya. Berasa badan terus kayak Jennifer Gardner.


Tapi yang terpikir, ada juga bagusnya marah ya, kalau terarah? Karena marah itu energi yang sangat besar yang belum ada orang bisa mengukur berapa besar kalori marah tersebut. Coba kalau lagi marah dan kesal, lari deh di treadmill.

Beda dengan kalau kita sedang biasa-biasa saja. Bisa lebih lama dan lebih cepat larinya dan habis itu enak bener rasanya. Biasanya juga kalau saya kesal, saya suka lari saja, seperti lari dari kenyataan. Energinya dikeluarkan dengan positif. Bukan meledak ke orang lain, atau minum alkohol.

Nah, alkohol malah meredam energi tersebut sehingga alkohol dinamakan depressant, sama dengan rokok. Makanya kalau marah, keluarkanlah dengan positif.

Sehubungan dengan marah adalah energi yang besar, saya jadi ingat artikel-artikel di majalah menye-menye (ini istilah saya dan temen-teman saya untuk majalah-majalah perempuan yang banyak di salon-salon, yang isinya kebanyakan mengenai bagaimana mendapatkan laki-laki atau bagaimana agar laki-laki tidak lari, dll).

Salah satu yang saya baca adalah, berhubungan intim yang intense bisa mengeluarkan energi sampai 400 kalori. Ini sama saja dengan ikut kelas RPM selama 50 menit atau saya lari satu jam penuh.

Jadi mikir, apa betul yang dikatakan orang-orang bahwa pasangan yang menikah itu lebih panjang umur karena hubungan intimnya teratur (dengan asumsi teraturnya minimal satu minggu dua kali, bukan tiga bulan sekali)?

Mungkin karena itu banyak yang suka bilang, kalau single, terutama perempuan, kalau sedang marah-marah dibilang entah PMS atau jablay alias jarang dibelai. Kalau saya sedang stres dan saklek di kantor, kadang rekanan pria yang lebih tua seperti si Dave bilang bahwa saya perlu melakukan aktivitas ranjang lebih banyak.

Sok tahu, kata saya. Tapi saya jadi mengerti ungkapan itu (atau yang mirip-mirip itu): karena marah atau kesal itu adalah energi, dan energi perlu dikeluarkan dan salah satunya adalah dengan berhubungan intim.

Kalau begitu, boleh dong saya berpikir terbalik. Orang-orang single yang konon katanya aktivitas ranjangnya tidak lebih teratur dari yang berpasangan, kalau bisa mengarahkan energi marahnya dengan baik entah karena faktor internal, (tahu sendirilah, perempuan hormonnya lebih complicated daripada laki-laki) atau faktor external (karena orang lain atau karena situasi, terutama MACET di Jakarta ini), maka result-nya lebih baik daripada orang-orang yang punya pasangan tetap, karena dia tidak buang-buang energi untuk sex?

Apakah orang-orang yang prestasi dan karirnya gilang-gemilang sebenarnya kehidupan ranjangnya di bawah normal, karena energinya dipakai untuk berpikir dan berkarya? Memang banyak faktor lain yang membuat seseorang sukses, tetapi apa iya ya?

Atau karena orang-orang single yang pernah menikah lebih punya waktu untuk diri sendiri sehingga mereka jadi lebih produktif?

Saya ingat buku tentang para biksu Buddha yang saya baca. Mereka selibat. Dan alasan mereka selibat adalah karena hubungan intim itu membutuhkan energi yang besar dan mereka men-channel energi itu untuk berpikir. Energinya dipakai untuk meditasi dan mengontrol diri dan iqra. Atau meditasi untuk mengontrol energi napsunya?

Di tingkat yang lebih rendah, waktu saya berkunjung ke shelter tempat adopsi anjing, kata sang pengelola, anjing-anjing yang suka menggigit di-masturbasi secara teratur agar tidak menggigit. Anjing-anjing jantan di shelter tersebut menjadi tidak seganas sebelumnya.

Biasanya, anjing umur 2-3 tahun yang libidonya tinggi yang doyan menggigit kalau sedang birahi dan tidak ada kontrolnya. Juga, anjing-anjing yang sudah disteril (terutama jantan) lebih ‘jinak’ karena libidonya sudah turun.

Nah, artinya secara alam, memang kalau tidak berhubungan intim bisa mengakibatkan mamalia untuk marah dan meledak, bukan? Artinya teori Freud ada benarnya juga. Kita, manusia, dikontrol oleh sex drive kita.

Bedanya, manusia lebih bisa mengendalikan hawa nafsunya karena dibatasi oleh moral maupun aturan-aturan.

Entahlah. Menarik saja, saya pikir, hubungan antara marah dan pelampiasannya. Yang saya tahu, kalau saya sedang kesal atau marah, saya malah tidak bisa perform in bed. Kalau begitu, malah jadi ‘mbulet’ aja dong ya?


(Origin: Janda Kaya)

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.